Manusia Baik, Manusia Jahat

Tentang baik atau jahat manusia berdasar cerita Leonardo Da Vinci dalam upayanya melukis The Last Supper.

Iam_Bima
4 min readJun 8, 2020

Kerumunan orang memadati masjid Jogokaryan sore itu. Kompleks masjid ini memang terkenal menjadi tempat berburu takjil menjelang berbuka puasa, anak-anak, penjual takjil dan makanan, mahasiswa dari berbagai daerah tumpah ruah dijalanan, termasuk salah satunya saya.

Saya dan beberapa teman memang berencana berburu takjil di tempat ini. Beberapa saat sebelum waktu berbuka kami memutuskan untuk duduk didepan masjid. samar-sama saya mendengar riuh anak-anak didalam masjid, sepertinya ustadz sedang menceritakan sebuah kisah kepada anak-anak ini.

“adek-adek, siapa yang mau menjadi orang jahat?”. tanya ustadz.

Dijawab dengan keheningan selama beberapa saat.

“siapa yang mau menjadi orang baik?”.

“saya pak ustadz!”. jawaban serentak oleh anak-anak didalam masjid.

Tiba-tiba saya mulai berpikir. Bisakah demikian?

Bisakah kita memilih antara menjadi orang baik atau orang jahat?

Kalau begitu, bukankah setiap orang akan memilih menjadi orang baik. Saya rasa tidak ada orang yang dengan senang hati memilih menjadi orang jahat. Lalu, kenapa ada orang jahat di dunia ini.

manusia melakukan kejahatan
manusia melakukan kejahatan

Memikirkan hal ini saya tanpa sengaja saya teringat dengan sebuah kisah tentang Leonardo Da Vinci dalam upayanya membuat salah satu lukisan paling terkenal didunia. The Last Supper.

The Last Supper adalah salah satu lukisan paling terkenal didunia, dilukis oleh sang maestro seni Leonardo Da Vinci di dinding ruang makan Konven Santa Maria delle Grazie, Milan. Lukisan ini menggambarkan suasana perjamuan terakhir Yessus dengan kedua belas muridnya, dimana salah satu dari mereka akan menghianati Yesus, Yudas.

lukisan The Last Supper karya Leonardo Da Vinci

Leonardo Da Vinci diminta untuk membuat lukisan ini oleh seorang pastor dan menyanggupinya. Namun, ia mengalami kebingungan, karena dalam satu lukisan, ia harus menggambarkan dua tokoh yang sangat kontras, Yesus sebagai tokoh kebaikan serta Yudas sebagai tokoh kejahatan. Ia harus menemukan model yang tepat untuk menjadi inspirasi jahat dan baik di lukisanya nanti.

Suatu hari, Da Vinci datang ke sebuah gereja tidak jauh dari rumahnya, tiba-tiba perhatianya terpaku pada salah seorang anggota paduan suara gereja. Da Vinci sangat tertarik dengan pria tersebut, dengan seyumnya yang hangat, wajahnya yang berseri, ia menganggap pria ini adalah model yang cocok dari kebaikan. Maka dibawalah remaja ini untuk menjadi inspirasi lukisanya. Kebaikan selesai dilukiskan.

Hari-hari berikutnya Da Vinci kembali mengalami kebingungan karena ia belum menemukan model yang cocok untuk kejahatan. bersamaan dengan itu, pastor meminta agar lukisanya segera diselesaikan. Ditengah kebingungan yang melanda, tiba-tiba ia melihat seorang gelandangan yang terjatuh ditengah jalan saking mabuknya. Dengan wajahnya yang tak terurus dan gelap, perilakunya yang tidak baik, dan telernya orang ini, da vinci terinspirasi untuk melukis kejahatan. Dalam keadaan teler, gelandangan ini digotong kedalam Konven untuk dijadikan inspirasi lukisannya.

Akhirnya setelah hampir setahun, lukisan inipun selesai juga. Lengkap dengan Yesus dan Yudas sebagai simbol dari kebaikan serta kejahatan. Pastor, Da vinci serta beberapa asistennya sangat puas dengan lukisan ini. Disaat bersamaan, gelandangan yang sedari tadi teler ini mulai sadar dan mengamati lukisan didepanya itu. Dengan sangat kaget gelandangan ini berteriak

“aku pernah melihat lukisan ini!”

Semua orang diruangan tersebut tentu sangat kaget. Lukisan ini baru selesai beberapa saat yang lalu, kapan orang ini pernah melihatnya.

“tapi lukisan ini baru saja selesai, kapan kau melihatnya?” tanya Da Vinci

“beberapa tahun yang lalu. Setelah acara paduan suara di gereja, ada seseorang yang membawaku ke sebuah tempat untuk dilukis”

Apa yang terjadi, orang yang menjadi model kebaikan juga merupakan model kejahatan? lalu mengapa Da Vinci tidak mengenali orang tersebut, padahal ia adalah orang yang sama yang ditemui beberapa tahun lalu?

Kembali ke pertanyaan diawal, bisakah kita memilih menjadi orang baik atau jahat?

Saya pribadi suka mengibaratkan manusia seperti sebuah koin. Setiap koin memiliki dua sisi yang berbeda satu sama lain. Sisi ini tidak dapat dipisahkan, keduanya ada dan akan selalu bersama, saling melengkapi.

seperti koin setiap manusia memiliki dua sisi

Dan lagi, baik dan jahat juga dipengaruhi oleh banyak faktor, budaya, tempat dan waktu, keadaan, sudut pandang, dan banyak faktor lainya.

Ambil contoh “bersendawa”. Bagi banyak negara dan budaya di dunia termasuk Indonesia, bersendawa setelah makan merupakan hal yang dianggap tidak sopan dan menjijikan. Namun, dinegara seperti Korea, China dan Bahrain, bersendawa setelah makan boleh dibilang wajib dilakukan, sebagai tanda kita menikmati makanan yang disajikan serta bentuk penghormatan kepada tuan rumah.

Satu tindakan yang sama, “bersendawa”, memiliki interpretasi baik dan jahat yang berbeda berdasar kebudayaan mana yang digunakan untuk menilai tindakan yang dimaksud.

Lalu, apakah kita bisa memilih menjadi orang jahat atau baik ?

Saya rasa selalu ada pilihan untuk menjadi orang baik (menurut kita sendiri), dimulai dari hal sesederhana tidak mencontek saat ujian, mengucapkan hal-hal yang baik kepada orang lain, memberikan selamat atas pencapaian orang, dan banyak lagi.

apakah yang kita lakukan selama ini adalah perbuatan baik atau jahat?

tergantung sangat banyak hal.

apakah manusia itu pada dasarnya baik atau jahat?

kita adalah baik dan jahat itu sendiri.

Terimakasih telah membaca.

--

--

Iam_Bima
Iam_Bima

Written by Iam_Bima

Mahasiswa | Suka Berdiskusi

No responses yet