Beberapa waktu kebelakang saya disibukkan dengan Tugas Akhir (skripsi untuk D3). Ini semester terakhir saya harus menyelesaikan Tugas Akhir, terlambat satu semester lagi berarti saya lulus tidak tepat waktu. Entah kenapa saya merasa punya banyak beban yang harus ditanggung, mulai dari melihat teman-teman yang lain sudah sidang terlebih dahulu, sampai dengan merasa skill yang saya miliki masih kurang. Di waktu ini, saya mulai overthinking dengan banyak hal.
“gimana kalo Tugas Akhir saya tidak selesai semester ini?”
“gimana kalo saya mengecewakan orang tua saya ?”
“gimana kalau saya tidak lulus dengan nilai cumlaude?”
Banyak sekali pikiran negatif yang tiba-tiba hinggap diotak, sampai-sampai saya merasakan khawatir yang berlebihan. Walaupun mungkin semua hal yang saya pikirkan belum tentu terjadi dan hanya pikiran sesaat saja, namun serasa sulit sekali mengendalikannya.
Hal ini diperparah dengan saya yang tidak punya kegiatan rutin. Semenjak pandemi virus corona lebih dari setahun yang lalu, segala kegiatan beralih menjadi online, mulai dari kuliah, tugas, bahkan semester lalu saya merasakan yang namanya magang online. Bagaimana kesan saya, tidak enak sama sekali. Saya merasa cuma mengerjakan tugas kuliah seperti biasa, bedanya yang ini dikumpulkan ke tempat magang. Saya tidak merasakan atmosfer dunia kerja sama sekali. Saya tidak merasa mendapat pengalaman kerja. Tapi ya saya memaklumi, karena toh keadaan sekarang ini bukan keinginan kita sama sekali.
Lebih parah lagi, kelompok magang saya isinya teman-teman yang tidak kompeten dan tidak ada semangat sama sekali. Ya walaupun saya sendiri sebenarnya juga tidak terlalu menguasai bidang ini (Teknik Informatika), tapi mereka ini kebangetan. Dan ini berlanjut ke Tugas Akhir. Ya, kelompok Tugas Akhir saya bareng mereka lagi.
Ahhhh… saya merasa beban yang dipikul terlalu berat, harus mengerjakan Tugas Akhir, mengatasi kebosanan diri karena dikos terus, berusaha menjaga kewarasan ditengah pandemi.
Suatu saat tiba-tiba, sebuah kalimat terlintas dipikiran saya, kalimat itu kurang lebih berbunyi
“hidup adalah sekumpulan masalah, mencoba menyelesaikan masalah hanya akan membawamu pada masalah yang lainya”
Setelah saya ingat-ingat, kalimat ini ternyata berasal dari buku “sebuah seni untuk bersikap bodoamat” karya Mark Manson yang saya baca sekitar setahun yang lalu.
Setelah saya renungi kalimat diatas sebetulnya ada benarnya.
Jika dipikir-pikir lagi, punya kelompok yang tidak kompeten bukan hanya saat ini saja ketika kuliah, sejak dari SMK/SMA atau SMP, kita pasti punya teman yang kelihatan nggak ada niatan sama sekali buat sekolah, saat yang lain ngerjain tugas, dia malah main game, setelah tugas selesai baru deh nyontek.
Setelah dipikir-pikir lagi, struggle sama tugas bukan kali pertama saya rasakan, selama SMP dan SMK/SMA kita (atau setidaknya saya) selalu dihantui dengan yang namanya UTS dan UAS. Untuk melengkapi penderitaan kita, masih ada Ujian Nasional (yang sepertinya sudah dihapus). Tidak berhenti disitu, khusus untuk yang mau lanjut kuliah, ada SNMPTN dan SBMPTN.
Masih nggak nyangka kalau saya pernah melalui semua hal diatas, walaupun nggak lulus SNMPTN dan SBMPTN sih..
The point is, yang saya alami saat ini cuma bagian dari hidup atau kalau menurut Mark salah satu masalah selama hidup aja, besok-besok masih banyak masalah yang bakal saya hadapi, masih banyak tugas-tugas berat yang bakal bikin pusing, masih banyak orang-orang nyebelin yang akan saya temui, itu pasti.
Bahkan saya belum merasakan dunia kerja yang kata orang-orang “kejam”.
Jadi kalau hidup kita isinya masalah semua, gimana kita mau bahagia ?
Tentu saja dengan berdamai dengan masalah.
Coba kita flashback ke masa setahun yang lalu, tepatnya saat virus corona mulai menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Semua orang panik, pemerintah panik masyarakat apalagi, saat wacana lockdown diturunkan, dunia seperti dalam film-film yang sering kita tonton.
Tapi itu setahun yang lalu kawan, dan kita sudah menjalani hari-hari bersama corona selama setahun lebih. Walaupun memang setahun kebelakang banyak target-target kita yang tidak tercapai, masalah keuangan dan lain-lain, but we survive and we alright.
Kadang saat masalah datang, kita hanya perlu berjalan bersamanya, hingga berpisah arah dan masalah lainya datang.
Tidak perlu terlalu overthinking terhadap hal-hal yang akan datang, karena masa depan tidak akan seburuk itu.
Terakhir, tulisan ini dibuat bukan karena saya berhasil berdamai dengan masalah saya sendiri, karena prakteknya memang tidak semudah tulisannya. Tulisan ini lebih ditujukan sebagai pengingat saya pribadi bahwa masalah akan selalu datang, siap atau tidak, suka atau tidak, and it’s okay.
Fighting!!!